Ads

Tuesday, June 05, 2007

Apa Komentar Anda Setelah 40 Tahun Al-Aqsha Dijajah?

Selasa, 5 Jun 07 18:32 WIB

Syaikh Raid Shalah, pemimpin gerakan Islam Palestina di wilayah jajahan 1948, menyerukan seluruh penulis dan pemikir Islam di mana saja untuk menuliskan surat singkat dengan judul “Pendapat Saya Setelah 40 Tahun Perampasan Masjid Al-Aqsha”.

Surat itu menurutnya, digunakan untuk lebih memberi kesan mendalam bagi kaum Muslimin terhadap kondisi masjid Al-Aqsha saat ini, dan akan menguatkan hubungan batin serta pemikiran antara kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap Masjid Al-Aqsha.

Dalam dialog langsung yang disampaikan Raid Shalah kepada para netters Islamonline ia menyampaikan, “Kebutuhan mendesak pada peran para ulama, para jurnalis, untuk bisa memperdalam lagi perjalanan peradaban Islam kita, lalu menyambung hubungan hati dan pemikiran terhadap masjid Al-Aqsha Al-Mubarak. ”

Menurutnya, surat-surat seperti itu akan menjadikan umat Islam tetap berobsesi dengan peran besar persatuan dunia Islam. Surat itu hendaknya dikirimkan ke alamat email, moasst_aqsa@yahoo.com.

Ia menyatakan, setelah menerima surat-surat itu, ia akan sebarkan melalui sebuah buku berjudul "Apa yang saya katakan setelah 40 tahun Al-Aqsha dijajah Israel?”

Syaikh Raid Shalah berterima kasih kepada semua pihak yang mau meluangkan waktu dan menuliskan surat untuk menjalin ikatan hubungan yang lebih kuat antara kaum Muslimin dunia dengan kondisi Masjid Al-Aqsha.

Dalam kesempatan yang sama, Syaikh Raid Shalah juga mengemukakan istilah bursa kaum Muslimin. “Jika dalam dunia ekonomi ada bursa, maka di dunia Islam juga ada bursa. Jika dalam bursa ekonomi mengacu pada harga minyak, emas dan investasi bisnis, maka bursa kemuliaan dunia Islam adalah Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha yang sangat mahal nilainya, ” ujar Syaikh. (na-str/iol)

Mushaf Al-Qur'an Berusia Dua Abad Hilang di Bandara Soekarno Hatta

Selasa, 5 Jun 07 15:44 WIB

Mushaf Al-Quran berusia lebih dari dua abad dari Afrika Selatan hilang di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, sejak 2006 dan kini keluarga pemilik kitab suci ini meminta bantuan media tanah air agar dapat menemukannya.

"Kami kehilangan Al-Quran yang istimewa itu di Bandara Soekarno-Hatta, tepatnya pada 23 Maret 2006, " ujar pemilik sah Al-Qur'an tersebut, Syaikh Abubaker Abduraouf, kepada wartawan di Kedutaan Besar Afrika Selatan, Jakarta, Selasa (5/6).

KIsahnya, Syaikh Abubaker Abduraouf dan isterinya, Adela, pada 2006 berencana untuk menapaktilasi perjalanan leluhurnya ke Tidore, Maluku. Mereka berangkat dari Cape Town dan tiba di Jakarta pada 21 Maret 2006.

Setelah menginap selama dua hari di Jakarta, mereka berencana menuju ke Tidore dan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta. Apesnya, taksi yang mereka tumpangi, mengantar mereka ke terminal internasional dan bukannya terminal domestik.

Lantaran terburu-buru, mereka lalu naik kendaraan alternatif yang berjenis Toyota van berkapasitas tujuh penumpang dan berwarna emas metalik. Pengemudi kendaraan itu adalah lelaki berusia 40-an awal yang memakai seragam berwarna terang.

Sesampainya di terminal domestik, mereka segera menurunkan barang bawaan satu per satu. Mushaf Al-Quran yang dibawa dalam tas berwarna hitam dan ditaruh di kursi depan sebelah kiri pengemudi dimaksud untuk diturunkan terakhir.

Tapi, ketika Abduraouf dan isterinya kembali untuk menurunkan Al-Quran, kendaraan itu telah menghilang membawa kitab suci bersejarah tersebut.

Mereka lalu melapor kepada pihak keamanan bandara dan memberitahukan bahwa mereka akan kembali pada 27 Maret 2006 sekiranya ada orang yang mengembalikan kitab suci itu. Tapi hasilnya nihil.

Oleh karean itu, Abduraouf dan pihak Kedubes Afsel di Indonesia meminta agar warga Indonesia yang menemukan atau mengetahui tentang keberadaan Al-Quran tersebut agar melaporkannya ke pihak kedutaan atau bisa melalui media.

"Kami tidak akan memberikan semacam komitmen reward, tetapi untuk hal itu kami menyerahkan kepada pihak keluarga. Kami hanya akan menghubungkan orang yang menemukannya dengan keluarga Abduraouf, " ujar Konselor Politik dan Perdagangan Kedubes Afsel, Mike Mambukwe.

Ia menegaskan, kasus ini bukanlah termasuk ranah politik, tetapi lebih kepada hal yang bersifat keagamaan dan kemanusiaan. Mengenai alasan mengapa baru sekarang menyebarluaskan insiden terjadi setahun lalu itu, Abduraouf mengaku baru bisa melakukannya sekarang, karena mereka tidak memiliki banyak uang agar dapat bertolak ke Indonesia untuk mengurus kasus ini.

Seperti diketahui, mushaf ini ditulis dengan tangan di Afsel pada abad ke-18 oleh Abdullah Qaadi Abdus Salaam yang merupakan tahanan politik Belanda pada masa kolonial. Tokoh yang berasal dari Tidore, Indonesia, itu dibuang ke Pulau Robben di dekat Cape Town, Afsel, tepatnya pada tahun 1765.

Selama dalam masa pengasingan itu, dia menulis Al-Quran dengan tinta hitam, kecuali lafal Allah yang diwarnai dengan tinta merah. Sejak itu, kitab tersebut diwariskan dari generasi ke generasi hingga ke tangan penerusnya yang keenam, yaitu Syaikh Abubaker Abduraouf. (dina)

20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional (Tamat)

Rabu, 30 Mei 07 06:08 WIB

Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:

Tujuan:
- SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,
- BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).

Sifat:
- SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,
- BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,

Bahasa:
- SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia,
- BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda

Sikap Terhadap Belanda:
- SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda,
- BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda,

Sikap Terhadap Agama:
- SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya,
- BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)

Perjuangan Kemerdekaan:
- SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,
- BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,

Korban Perjuangan:
- Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,
- Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,

Kerakyatan:
- SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,
- BO bersifat feodal dan keningratan,

Melawan Arus:
- SI berjuang melawan arus penjajahan,
- BO menurutkan kemauan arus penjajahan,

Kelahiran:
- SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,
- BO baru lahir pada 20 Mei 1908,

Seharusnya 16 Oktober
Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Tamat/Rizki Ridyasmara)

20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional (Bag.1)

Sabtu, 19 Mei 07 10:08 WIB

Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).

Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan yang teramat nyata.

Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita. Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami esensi di balik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelum mengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.

Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.

Pendukung Penjajahan Belanda

Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadi. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.

Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan perbandinganya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)

George W Bush Sudah Lahir di Tahun 1796

Jumat, 1 Jun 07 21:53 WIB

Ini bukan berita sensasi atau dusta, pada tahun 1796 atau 20 tahun setelah The Founding Fathers Amerika Serikat menandatangani Deklarasi Kemerdekaan AS, George W Bush dilahirkan. Namanya bukan George Walker Bush yang kini menjadi Presiden AS sekaligus tiran dunia, melainkan George Washington Bush. Sama-sama George W Bush, beda orang, namun sama-sama Islamophobia. Lho?

Michael Collins Piper, seorang kolumnis independen Amerika dan termasuk salah satu pengecam gerakan Zionisme, di dalam karyanya “Jerusalem Baru: Kuasa Zionis di Amerika” (edisi Malaysia diterbitkan Saba Islamic Media), mengutip penemuan Shalom Goldman, seorang Profesor Madya dalam kajian Ibrani dan Timur Tengah University Emory, yang mengatakan bahwa George Washington Bush merupakan moyang dari George Walker Bush.

“George Washington Bush dilahirkan pada 12 Juni 1796 dan meninggal dunia ada 19 September 1859. Dia merupakan seorang profesor dan penulis. Dia menulis buku ‘The Life of Muhammad’ dan buku tersebut merupakan penerbitan pertama di Amerika yang menyerang Islam, ” demikian Goldman.

Profesor berdarah Yahudi ini juga menegaskan bahwa sosok Profesor Bush merupakan pelopor atau perintis lahirnya kelompok Zionis-Kristen Amerika yang sekarang telah menguasai Gedung Putih dan Pentagon. “Profesor Bush sangat akif mendukung Zionisme di Amerika dan berperan penting di dalam mengirimkan orang-orang Yahudi Diaspora ke Tanah Palestina, ” lanjutnya.

Wikipedia menulis, “Selain sebagai akademisi dan penulis, Profesor Bush juga seorang sarjana Alkitab, penginjil, dan seorang kontroversial. Dia lulus dari Dartmouth College di tahun 1818 dan masuk Princeton Theological Seminary. Bush ditahbiskan di Salem Presbytery, Indiana, tahun 1825 dan menjadi pendeta di sebuah gereja Indianapolis, sebah gereja yang dipandang sangat liberal pada masanya. ”

Dari tahun 1831 hingga 1847, Bush menjadi Professor dalam kajian Ibrani dan Timur Tengah di New York University. Dia menulis sejumlah buu yang di antaranya berjudul ‘Life of Muhammad’ (1830), A Grammar of the Hebrew Language (1835), dan beberapa seri artikel yang secara kritis mengkaji materi Kitab Pejanjian Lama dan secara berani mengecam dogma-dogma lama tentang kebangkitan kembali dan lainnya (1844).

Di tahun 1845 Bush memperlihatkan dukungannya secara terang-terangan terhadap lobi Zionis di Amerika dengan berpindah gereja dan masuk ke dalam General Church of the New Jerusalem. Bush dengan cepat meraih popularitas dan dijadikan juru bicara gereja tersebut, termasuk di dalam majalah yang diterbitkan oleh gereja (New Church Review) dan The Hierophant, sebuah majalah yang sangat dokriner.

Inilah sosok salah satu moyang dari Presiden Amerika George Walker Bush. Jadi, tidaklah mengherankan jika sikap dan kelakuan Presiden AS ini sangat pro-Zionisme dan sangat anti-Islam, karena moyangnya pun sudah demikian. (Rizki Ridyasmara)

MENCEGAH UPAYA SEKULARISASI PANCASILA

Oleh: K.H Ma'ruf Amin Maklumat ke-Indonesia-an yang digagas oleh sejumlah orang dalam simposium nasional di Fisip UI yang lalu, dengan ...