Ads

Friday, July 07, 2006

Langkah Panjang Menuju Sukses Da Vinci Code

Jakarta-RoL -- Buku Da Vinci Code merupakan salah satu buku terlaris di tahun 2005 hingga 2006. Buku ini tidak hanya laris di negeri asalnya, namun masyarakat Indonesia pun sangat antusias untuk turut membaca dan meresapi isi buku ini. Buktinya buku ini terkategori best seller di tahun lalu.

Dalam siaran pers yang diterima Republika menyebutkan, Penerbit Serambi, yang menelurkan buku tersebut di Indonesia adalah pihak yang berhasil mendulang sukses. Ini setelah melalui langkah yang cukup panjang, hingga buku Da Vinci Code sampai ke tangan masyarakat Indonesi. ''Penerbit kami awalnya melakukan review perkembangan buku di luar, dengan memantau melalui media dan internet,'' ungkap Direktur Penerbit Serambi, kemarin di Jakarta. Kemudian, dari hasil review tersebut penerbit dapat memantau dan menyimpulkan buku yang laris dan layak untuk diterbitkan.

''Baru kemudian kita meminta reading copy dari penerbit aslinya,'' ujar Husni. Jika telah mempelajari baru kemudian dikaji apakah layak untuk diterbitkan atau tidak. Jika layak diterbitkan baru kemudian menego royalty dengan penulis atau penerbit aslinya. Dalam sistem pembayaran royalti, penerbit harus memberikan beberapa persen hasil penjualan buku kepada pemegang asli hak cipta. Setelah itu, secara berkala setiap 6 atau 12 bulan, penerbit harus melaporkan dan membayarkan persentase tersebut sampai jangka waktu kerja sama berakhir.

Biasanya sistem pembayaran royalti juga menuntut dibayarkannya uang muka (advance), yang jumlahnya bisa berupa sebagian dari total royalti yang diperkirakan dan bisa juga seluruhnya. Berbeda dari sistem pembayaran royalti, flat fee tidak menuntut penerbit untuk membayarkan sebagian hasil penjualan buku secara berkala. Penerbit hanya perlu membayar sejumlah uang di muka untuk sejumlah eksemplar buku yang telah ditentukan dan setelah itu tidak perlu membayar apa pun. Jika penerbit berhasil menjual seluruh eksemplar buku yang telah ditentukan dalam perjanjian, otomatis kontrak tidak berlaku lagi. Jika penerbit ingin mencetak ulang buku tersebut, penerbit harus mengajukan penawaran baru, dengan syarat-syarat yang mungkin berbeda pula.

''Buku-buku teologis merupakan buku paling laris di tahun ini, salah satunya buku Da Vinci Code,'' ungkap Husni. Menurut Husni, karena penerbit mengedarkan dan menjual karya pengarang/penerjemah sebagai pemilik asli hak cipta, maka jual-beli hak cipta sebagai salah satu cara mengalihkan hak cipta itu adalah inherent dalam penerbitan buku. Tidak ada industri penerbitan yang bergerak tanpa kegiatan jual-beli copyright, kecuali industri gelap.

''Dalam kasus Indonesia, jual-beli hak cipta yang sangat, kalau bukan paling, dominan adalah hak cipta terjemahan,'' ungkap Husni. Hak cipta terjemahan atau language right adalah hak menerjemahkan sebuah karya asing ke dalam bahasa Indonesia, menerbitkannya, mengedarkannya, dan menjualnya di wilayah hukum Indonesia atau internasional. Ini berlaku dalam jangka waktu tertentu atau tidak terbatas, dengan menyerahkan sejumlah uang tertentu sebagai kompensasi atau tidak, dalam bentuk royalti atau flat/outright fee.

Proses untuk mendapatkan hak cipta terjemahan dimulai dengan meminta reading copy dari pemegang hak cipta (penerbit, agen, atau penulis). Reading copy suatu karya dapat berupa buku yang sudah terbit, uncorrected proof yang belum diterbitkan, atau manuskrip. Reading copy dipakai untuk me-review kelayakan terbit atau tidak buku tersebut. ''Bila penerbit memutuskan layak terbit, maka langkah selanjutnya adalah mengajukan penawaran lewat apa yang disebut publication plan,'' ungkap Husni. Reading copy bisa dilewatkan bila penerbit sudah membaca buku tersebut lewat satu dan lain cara, atau mendapat provokasi yang meyakinkan dari pihak lain sehingga memutuskan layak terbit tanpa merasa perlu membacanya terlebih dahulu.

Menurut Husni, royalti rata-rata 5 s.d. 8% dari harga jual toko buku (retail price). Uang muka antara US$ 200 s.d. US$ 1.500. Buku2 yang dikecualikan dalam oplah tadi bisa dikecualikan juga dari angka-angka uang muka ini. Begitu juga, uang muka bisa melonjak bila terjadi persaingan antarpenerbit di Indonesia untuk buku yang sama. Waktu terbit tergantung ketebalan dan kesulitan bukunya, mulai 6 s.d 24 bulan.

Sedangkan periode penerbitan rata-rata 5 tahun, dan kemudian diperpanjang. Bila sistem pembayaran adalah flat fee, maka perpanjangan dilakukan setiap kali cetak ulang. Waktu pembayaran advance biasanya pada saat penandatanganan kontrak. Dalam kasus-kasus khusus, penerbit bisa mengusahakan untuk membagi advance payment ke dalam dua tahap: saat penandatanganan kontrak dan saat terbit. Pembayaran rolyalti rata-rata enam hingga 12 bulan sekali.

Perlu diperhatikan bahwa aturan pembayaran dalam jual-beli hak cipta cukup ketat dan dapat menyebabkan pembatalan kontrak. Hal-hal yang bisa membatalkan perjanjian kerja sama antara lain keterlambatan penandatanganan kontrak, keterlambatan pembayaran uang muka royalti, keterlambatan pembayaran flat fee, serta keterlambatan jangka waktu penerbitan edisi Indonesia yang telah disepakati. Selain itu, penerbit juga harus memerhatikan hak-hak apa saja yang hendak didapatkan oleh penerbit. Selain hak untuk menerjemahkan dan menerbitkan dalam bahasa Indonesia, penerbit juga bisa mendapatkan subsidiary rights atau hak-hak tambahan, seperti hak untuk menerbitkan antologi, kutipan, dll.

Setelah proses penandatanganan kontrak selesai, penerbit berhak untuk meminta working copy, eksemplar buku tambahan yang akan digunakan untuk tujuan penerjemahan, dari pemegang asli hak cipta. Sebaliknya, penerbit juga wajib memberikan buku terjemahan yang telah terbit kepada pemegang hak cipta dengan jumlah yang telah ditentukan dalam kontrak kerja sama. pur

No comments:

MENCEGAH UPAYA SEKULARISASI PANCASILA

Oleh: K.H Ma'ruf Amin Maklumat ke-Indonesia-an yang digagas oleh sejumlah orang dalam simposium nasional di Fisip UI yang lalu, dengan ...