Ads

Monday, June 05, 2006

Mengambil Hikmah dari Gempa Jogja

Senin, 05 Juni 2006 - 08:26:19 WIB
Sedikit meyakini musibah selalu berhubungan dengan azab Allah. Mungkinkah gempa Jogja karena banyaknya orang alim dan cerdik pandai melegitimasi syirik? Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-148

Sabtu (27/5/2006) pagi, saya sedang berbaring di sebuah kamar hotel di kota Banjarnegara, Jawa Tengah. Tiba-tiba, tempat tidur bergoyang cukup keras. Segera saya berlari ke luar. Ternyata sejumlah penghuni hotel– kebanyakan peserta Muswil ICMI Jateng – juga bergegas ke luar hotel, merasakan goncangan yang sama.

Goncangan itu berlangsung sekitar 1 menit. Saya berpikir, goncangan itu berkaitan dengan aktivitas Gunung Merapi.

Sekitar pukul 11.30 WIB, usai mengisi acara Muswil ICMI Jateng, saya baru sempat menghidupkan pesawat TV. Astaghfirullah! Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Peristiwa gempa pagi itu ternyata sebuah peristiwa yang sangat dahsyat. Tayangan-tayangan korban gempa di Jogja dan sekitarnya sungguh mengerikan. Ribuan rumah luluh lantak. Hancur, lebur! Ribuan nyawa melayang.

Hampir semua korban meninggal atau luka-luka akibat tertimpa bangunan. Beberapa hari kemudian tercatat, jumlah korban meninggal melampaui angka 5000 jiwa. Gempa di Jogja dengan kekuatan 5,9 skala richter itu emang sangat dahsyat. Bukan hanya dari segi jumlah korban dan nilai kerusakan. Tapi, juga lokasi gempa yang menimpa sebuah lokasi yang dikenal sebagai pusat budaya, wisata, dan pusat pendidikan di Indonesia.

Gempa Jogja kali ini memang musibah terdahsyat kedua setelah gempa bumi dan gelombang tsunami yang menghajar wilayah Aceh (Ahad, 26 Desember 2004), yang menewaskan lebih dari 200.000 jiwa. “Gempa sudah mulai ke Tanah Jawa, setelah ini mana lagi?” ujar seorang penduduk di Jawa Timur, yang khawatir gempa juga akan menimpa Surabaya dan sekitarnya.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, musibah seperti tiada habis-habisnya menimpa rakyat Indonesia. Sebagian kalangan ‘paranormal’ ada yang mengaitkan masalah ini dengan kepemimpinan nasional yang ‘tidak direstui alam’. Sebagai Muslim, tentu kita punya pandangan lain, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Semua peristiwa yang terjadi tentu seizin Allah SWT. Semua adalah keputusan dan kebijakan Allah SWT.

Seperti halnya tsunami Aceh, gempa Jogja kali ini juga menyisakan pertanyaan: mengapa Jogja? Mengapa tidak Jakarta atau Surabaya? Kita yakin, itu semua rahasia dan kebijakan Allah SWT. Namun, kita sudah diajarkan, bahwa musibah dapat bermakna banyak bagi manusia.

Musibah bisa berarti hukuman, ujian, atau peringatan dari Allah SWT kepada manusia. Bencana tidak pilih-pilih bulu. Manusia yang baik dan buruk juga bisa terkena. Allah SWT sudah mengingatkan, “Dan takutlah kepada fitnah (bencana, penderitaan, ujian) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya.” (QS 8:25).

Kita tidak tahu pasti apa hikmah dibalik musibah besar yang ditimpakan Allah kepada saudara-saudara kita di Jogja dan sekitarnya. Yang telah wafat, mereka telah selesai tugas dan masa hidupnya di muka bumi. Mereka kembali kepada al-Khaliq. Mereka akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Anak-anak yang meninggal dunia tentu saja bebas dari segala pertanggungjawaban.

Yang penting bagi kita saat ini adalah melakukan introspeksi. Musibah ini justru harusnya menjadi pelajaran bagi yang masih hidup. Bahwa, ternyata, nyawa manusia, dapat dicabut Malaikat Pencabut Nyawa, kapan dan dimana saja. Siapa sangka, mereka yang pagi itu sedang bercengkerama dengan keluarganya, atau sedang tertidur pulas, tiba-tiba, hanya dalam hitungan menit, harus berpisah untuk selamanya.

Bagi kaum muslim, musibah ini bisa dijadikan pelajaran dan segera melakukan perenungan kembali. Mengapa Allah menjatuhkan musibah; merenungkan kembali, makna dan tujuan hakiki dari kehidupan. Manusia diciptakan Allah hanyalah untuk melakukan ibadah kepada Allah (QS 51:56). Jadi, manusia bukan diciptakan untuk berhura-hura, bersenang-senang, dengan melupakan al-Khaliq. Mengingat umur manusia yang begitu terbatas dan singkat, semasa hidup di dunia, maka tidak seyogyanya mereka menghabiskan umurnya untuk berpesta pora, melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya, yang menyebabkan mereka menyesal nanti di Hari Akhir.

Selain itu, kaum Muslim juga mendapatkan tugas khusus, yaitu melanjutkan amanah Risalah Rasulullah saw. Tidak semua manusia ditakdirkan Allah SWT lahir dari keluarga dan lingkungan Muslim. Ada yang dilahirkan di tengah keluarga Kristen, Yahudi, atau atheis, dan dibesarkan di tengah keluarga yang bukan Islam.

Maka, sudah semestinya, kaum Muslim menjalankan tugasnya, menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Kaum Muslim juga mendapatkan tugas melakukan amar ma’ruf nahi munkar, memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran. Umat Islam tidak boleh berdiam diri terhadap berbagai kemungkaran yang terjadi di sekitarnya. Karena itu mereka harus berilmu. Mereka tidak boleh bodoh dan bersifat egois. Mereka harus paham, mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang benar dan mana yang salah. Setelah tahu, mereka harus berbuat sesuatu untuk memperjuangkan yang haq dan memusnahkan kebatilan. Itulah hakikat hidup bagi seorang Muslim, yaitu memperjuangkan tegaknya kebenaran dan melawan kebatilan.

Rasulullah saw menggambarkan satu masyarakat bagaikan penumpang sebuah kapal. Jika mereka tidak peduli dan membiarkan sebagian penumpang yang melobangi tempat duduknya, maka semua penumpang akan tenggelam. Begitulah masyarakat. Jika mereka membiarkan kemungkaran berlaku di sekitarnya, maka semua akan ditimpa bencana, baik manusia yang berdosa atau yang tidak berdosa.

Ada baiknya kita melakukan introspeksi, sejauh manakah kita semua, kaum Muslim di Jogja dan ditempat-tempat lain, telah menjalankan kewajiban mereka? Kita patut bertanya, apakah bencana Jogja ini merupakan peringatan Allah SWT untuk menyadarkan bangsa Indonesia, dan umat Islam khususnya, agar mereka kembali mengingat Allah.

Allah SWT melalui banyak ayat-ayat Al-Quran telah mengingatkan banyaknya manusia yang akan menyesal di akhirat, karena semasa hidup di dunia tidak memanfaatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ketika mereka mempunyai fisik yang sehat, gagah, dan cantik, anugerah itu bukannya untuk beribadah kepada Allah, tetapi untuk dipamerkan dan bahkan diumbar auratnya kepada manusia.

Mereka berani menantang Allah dengan mengatakan, bahwa tubuh-tubuh itu adalah milik mutlak mereka, dan karena itu hak mereka untuk memanfaatkan dan mempertontonkannya di hadapan manusia. Mereka menolak aturan Allah dan dengan pongahnya mengatakan, agama tidak berhak mengatur soal pakaian dan tubuh wanita.

Ketika mempunyai akal yang cerdas, kecerdasannya bukan digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan membimbing umat manusia lainnya untuk menuju jalan Allah. Tetapi, kecerdasannya justru digunakan untuk menyebarkan paham-paham yang keliru dan menjauhkan manusia dari ibadah dan taat kepada Allah. Bahkan, ada yang diberi kesempatan belajar agama di perguruan-perguruan tinggi Islam, tetapi akhirnya justru menentang kebenaran Islam dan menyebarkan paham Pluralisme Agama – yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar dan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan. Padahal, paham ini adalah jelas-jelas paham syirik.

Di Jogja, bukan main banyaknya pakar dan ilmuwan yang bergelar doktor, profesor di sejumlah kampus yang menyebarkan dan melegitimasi paham syirik ini. Mereka seolah-olah lupa, bahwa syirik adalah kezaliman besar. Selama ini, banyak manusia yang melestarikan paham syirik.

Dulu, tidak ada kalangan akademisi Muslim atau profesor dalam studi Islam yang membela paham syirik. Sekarang, melalui paham Pluralisme Agama, mereka memberikan legitimasi terhadap paham syirik. Tidak perlu lagi amar ma’ruf nahi munkar, terhadap tindakan syirik, karena semua bentuk ritual agama danPara penyebar paham Pluralisme Agama seperti lupa akan kepercayaan apa pun dikatakan sah dan benar. Padahal, Allah SWT sudah menyatakan, bahwa hanya Islam agama yang diridhai Allah SWT dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah SWT. (QS 3:19,85). Peringatan Allah SWT dalam surat Maryam ayat 88-91: “Dan mereka mengatakan bahwa Allah yang Maha Rahman mempunyai anak. Sungguh, kalian (yang menyatakan seperti itu) telah mendatangkan perkara yang sangat keji. Hampir-hampir langit hancur karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh seruntuh-runtuhnya. Karena mereka menuduh Ar-Rahman mempunyai anak.”

Jadi, Allah SWT murka karena dituduh punya anak. Itulah syirik, dan merupakan kezaliman besar. Karena itu, bagaimana mungkin ada cendekiawan dan tokoh agama yang berani membela paham Pluralisme Agama? Kaum Muslim – terutama para tokoh dakwah – perlu menjadikan program pemberantasan syirik sebagai program utama, karena itulah misi utama yang diemban para Nabi. Bagaimana mungkin mereka pembenarkan semua agama, dan tidak mau menjalankan amar makruf nahi munkar, padahal banyak ayat Al-Quran yang menyatakan, bahwa :

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (QS at-Taubah:71).

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79).

Jadi, karena tidak melarang tindakan munkar diantara mereka, maka kaum Bani Israel itu dikutuk oleh Allah. Bagaimana untuk mencegah agar azab Allah SWT tidak menimpa masyarakat? Tidak ada jalan lain kecuali kaum Muslimin harus melaksanakan gerakan amar ma'ruf dan nahi munkar untuk memberantas kemaksiatan yang merajalela tersebut. Sejumlah hadits Nabi saw menceritakan akan datangnya azab Allah jika praktik-praktik kemunkaran dibiarkan merajalela dan kaum Muslimin tidak melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar.

Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

"Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum. " (HR Abu Dawud)

Mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah dari musibah gempa Jogja. Kita wajib membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, sekuat tenaga dan kemampuan kita. Dan semoga, gempa Jogja menjadikan kita sadar sebagai hamba Allah. Semoga kita semua tidak termasuk kaum yang tidak mampu mengambil hikmah dari musibah, dan menjadikan kita semakin pongah dan berani menantang ajaran-ajaran Allah SWT. Na’udzubillahi min dzalika. (KL, 2 Juni 2006/hidayatullah.com).

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

No comments:

MENCEGAH UPAYA SEKULARISASI PANCASILA

Oleh: K.H Ma'ruf Amin Maklumat ke-Indonesia-an yang digagas oleh sejumlah orang dalam simposium nasional di Fisip UI yang lalu, dengan ...